Etika Warganet Adalah

Jakarta (ANTARA) - Warganet harus mengutamakan etika dalam berinternet, terutama saat berinteraksi di media sosial, sehingga tidak menimbulkan dampak buruk bagi pengguna lain dan masyarakat.Internet ibarat pisau bermata dua, satu sisi memudahkan komunikasi dan pencarian informasi, sisi lain ada dampak negatif akibat hoaks, pornografi, dan penipuan daring, kata akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Yanti Dwi Astuti pada webinar ”Indonesia Makin Cakap Digital”, Jumat.”Dampak negatif internet memicu tindakan yang melanggar etika digital,” kata Yanti dalam webinar yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Siberkreasi itu.Baca juga: ASN dituntut memiliki keterampilan digital

Ia menyatakan, untuk menjadi warganet berakhlak mulia pengguna digital seharusnya mampu mengeliminasi pelanggaran etika digital di media sosial. Selain itu, warganet juga membutuhkan literasi digital terkait tata krama penggunaan internet (netiket).

”Penguasaan soft skill literasi digital harus dimiliki para pengguna media digital,” tegas Yanti.

Bagi Yanti, menjadi warganet berakhlak mulia dapat dilakukan dengan cara mengenali netiket di ruang digital. Di antaranya adalah menghormati orang lain, tidak membawa-bawa SARA, menghormati hak cipta, menghargai privasi, bijak dan santun bertutur kata, dan jadilah insan yang pemaaf.

Dalam paparannya, Yanti juga menyoroti banyaknya kasus pelanggaran etika di media sosial.Baca juga: Akademisi tekankan keterampilan digital cegah hal negatif dunia maya

”Misalnya mengeluh, mengumpat, menyebar hoaks, ghibah, adu domba, nyinyir, bullying,” sebut anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) itu.

Dari perspektif budaya digital, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang Nawang Warsi mengatakan, menjadi warganet berakhlak mulia berarti melakukan kebaikan kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain, dan menahan diri tatkala disakiti.

Menurut Nawang, meskipun hak digital telah menjamin tiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan media digital, namun hal itu juga disertai tanggung jawab.

”Ada hak, ada pula tanggung jawab. Misalnya, menjaga hak-hak atau reputasi orang lain. Menjaga keamanan nasional, ketertiban masyarakat, atau kesehatan dan moral publik,” pungkas Nawang Warsi.

Baca juga: Literasi digital bantu jaga demokrasi di ruang digitalBaca juga: Inovasi dan peka kebutuhan pasar kunci perusahaan rintisan bertahanBaca juga: Kemenkominfo bagi ilmu soal konsep "social media branding"

Pewarta: Arnidhya Nur ZhafiraEditor: Suryanto Copyright © ANTARA 2022

menggandeng DEMA FISHUM UIN Sunan Kalijaga dalam menyelenggarakan program Difussion #47 pada Jumat sore (16/4). Acara bertajuk “Jebloknya Netiquette Indonesia: Salah Netizen atau Kebijakan?” menghadirkan dua pembicara, yaitu Ndoro Kakung (Praktisi Sosial Media) dan Fajar Cahyono (Research Associate CfDS). Dimoderatori oleh Fununun Nisha, acara berlangsung melalui Zoom Meeting dan Youtube Live.

kali ini membahas mengenai buruknya etika warganet di internet. Hasil riset Microsoft menyatakan tingkat

warganet Indonesia turun sebanyak 8 poin ke angka 76 dibandingkan tahun lalu dan menempatkan Indonesia pada posisi terbawah di Asia Tenggara. Riset ini dilakukan pada 32 negara dengan lebih dari 16.000 responden. Dalam hal ini, etika warganet Indonesia dalam bermedia sosial sangat dipertanyakan.“Secara tidak langsung kita sebagai netizen atau warganet Indonesia adalah orang yang paling

sopan di Asia Tenggara,” ungkap Fajar Cahyono. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan posisi Indonesia turun dibanding tahun lalu. Di antaranya adalah tingkat hoax dan penipuan naik 13 poin ke angka 47%, ujaran kebencian naik 5 poin menjadi 27%, dan diskriminasi turun 2 poin menjadi 13%. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan mengingat masyarakat Indonesia terkenal dengan keramahan dan sopan santunnya yang baik. Namun, hal tersebut berbanding terbalik ketika di dunia digital, warganet cenderung tidak mempresentasikan budaya Indonesia. Sering kali kita melihat warganet Indonesia melakukan tindakan agresif dan berbicara tidak sepantasnya di media sosial. Sebagai contoh, beberapa akun media sosial yang diserang warganet Indonesia, yaitu Dayana, aktris Korea Han So Hee, GothamChess, dsb.

Merespon hal tersebut, Fajar Cahyono menyarankan untuk tidak menangkap secara parsial riset yang dikeluarkan oleh Microsoft. Apalagi jika kita memahami riset tersebut secara utuh, metodologi yang digunakan adalah non probability sampling yang mana hanya berlaku pada orang yang disurvei dan tidak dapat digeneralisasi. Dengan demikian, diperlukan riset lanjutan untuk memperkuat hasil.

“Harapannya kita tidak terlalu responsif dan tidak mengafirmasi secara berlebihan apa yang dikatakan Microsoft karena memang dari metodologi tidak bisa digeneralisasi,” kata Fajar Cahyono. Fajar juga menyampaikan bahwa sebenarnya sudah ada aturan normatif dalam bentuk UU ITE, namun tidak ada yang mengatur secara spesifik berkaitan dengan arahan untuk literasi digital dimana seharusnya ini dijadikan program nasional. Tantangan literasi digital bukan saja kemampuan pengguna tetapi juga terkandung roadmap literasi digital Indonesia. Ndoro Kakung menyampaikan ada empat hal yang harus dipahami sebagai literasi digital. Di antaranya; kecakapan bermedia sosial, mengetahui budaya bermedia sosial, memahami etika digital, dan memiliki pengetahuan tentang keamanan digital.

“Dengan empat kecakapan itu maka diharapkan program literasi digital akan tercapai dan efektif dan warganet menjadi lebih beradab, sopan, berpengetahuan, dan selamat menggunakan internet dan media sosial,” ujar Ndoro Kakung. (/Wfr)

Optimisme generasi muda terhadap makin baiknya etika masyarakat Indonesia dalam ruang digital, terlebih media sosial, tampaknya belum juga meningkat. Hal ini tampak dari skor indeks yang rendah pada aspek tersebut dalam Survei Indeks Optimisme Indonesia Tahun 2023 yang diselenggarakan Good News From Indonesia (GNFI) bersama Populix.

Survei Indeks Optimisme Indonesia telah menjadi agenda tahunan GNFI sejak 2018 untuk mengukur seberapa optimis Warga Negara Indonesia terhadap masa depan bangsa Indonesia. Tahun ini, GNFI berkolaborasi dengan lembaga survei Populix dan secara khusus menargetkan para generasi muda (usia 17-40 tahun) sebagai responden Survei Indeks Optimisme Indonesia Tahun 2023.

Berdasarkan hasil survei yang dilaksanakan pada periode 10-17 Oktober ini, indeks optimisme Indonesia tahun 2023 secara keseluruhan adalah sebesar 7,77. Angka ini mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 7,2.

Dimensi Pendidikan & Kebudayaan memiliki nilai indeks tertinggi, yakni sebesar 8,55, diikuti dengan dimensi Kebutuhan Dasar sebesar 8,28 dan Ekonomi & Kesehatan sebesar 8,31. Sementara itu, dua dimensi dengan nilai indeks optimisme terendah antara lain, dimensi Kehidupan Sosial sebesar 7,87 dan Politik & Hukum sebesar 5,72.

Pada dimensi Kehidupan Sosial dalam Survei Indeks Optimisme Indonesia 2023, tampak aspek “memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang” memiliki skor tertinggi, yakni 8,48 dengan 92% responden optimis terhadap aspek tersebut. Aspek “sikap toleransi” dan “kebebasan berpendapat” pun memiliki indeks optimisme yang cukup tinggi, yakni masing-masing 8,1 dan 7,93.

Sementara itu, aspek “etika bermedia sosial semakin baik” memiliki skor paling rendah, yakni hanya sebesar 6,97. Sebesar 10% responden tampak pesimis dengan semakin baiknya etika bermedia sosial masyarakat Indonesia di masa depan.

Tiga tahun lalu, warganet Indonesia sempat digemparkan dengan hasil survei Microsoft dalam laporan Digital Civility Index 2020 yang menunjukkan warganet Indonesia memiliki tingkat kesopanan paling rendah se-Asia Tenggara. Melihat perilaku warganet Indonesia di media sosial hingga saat ini, pesimisme masyarakat bukan tanpa alasan. Pasalnya, telah banyak kasus akun-akun media sosial, baik milik publik figur dari dalam maupun luar negeri, yang diserang secara massal oleh warganet Indonesia.

Hal ini menjadi perhatian, terlebih Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada 2024 mendatang. Perbedaan kubu pemilih dikhawatirkan akan menimbulkan keributan satu sama lain, terutama di ruang digital.

Devie Rahmawati, Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa perilaku buruk bermedia sosial tidak ada hubungannya dengan pendidikan atau pendapatan seseorang. Akan tetapi, anonimitas dalam ruang digital menjadi salah satu faktor penyebabnya.

“Pada 2020 lalu semua orang mendadak hidup dalam ruang digital, tidak heran kalau semua orang menjadi gagap. Secara kultural, masyarakat Indonesia pada ruang offline memiliki kecenderungan untuk harus membangun harmoni yang membuat kita harus menekan sisi lain dari diri kita. Begitu ada ruang digital dengan anonimitas, mereka bisa bebas dan menembus batas-batas kultural,” tutur Devie Rahmawati pada Diskusi Hasil Survei Indeks Optimisme Generasi Muda Indonesia 2023 (14/10).

Lebih lanjut, Devie optimis bahwa dengan adanya aturan, sosialisasi, serta edukasi yang baik, secara perlahan sikap-sikap buruk warganet dalam ruang digital dapat dikendalikan.

Beberapa waktu lalu Indonesia menjadi sorotan karena survei yang dilakukan perusahaan Microsoft melalui Digital Civility Index (DCI), sebagaimana penulis kutip dari laporan Civility, Safety and Interaction Online edisi ke-5 bulan Februari 2021 yang dikeluarkan Microsoft. Indonesia menduduki rangking 29 dengan nilai DCI 76, yang menunjukan tingkat keberadaban (civility) netizen Indonesia sangat rendah dibawah Negara Singapura dan Taiwan. Keberadaban yang dimaksud dalam laporan ini terkait dengan perilaku berselancar di dunia maya dan aplikasi media sosial, termasuk risiko terjadinya penyebarluasan berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian atau hate speech, diskriminasi, misogini, cyberbullying, trolling atau tindakan sengaja untuk memancing kemarahan, micro-aggression atau tindakan pelecehan terhadap kelompok marginal (kelompok etnis atau agama tertentu, perempuan, kelompok difabel, kelompok LGBT dan lainnya) hingga ke penipuan, doxing atau mengumpulkan data pribadi untuk disebarluaskan di dunia maya guna mengganggu atau merusak reputasi seseorang, hingga rekrutmen kegiatan radikal dan teror, serta pornografi.

Di era digital saat ini, dimana komunikasi bisa dilakukan secara bebas tanpa batasan waktu dan tempat, ada banyak hal yang terabaikan. Masyarakat Indonesia yang seharusnya menjunjung adat ketimuran dapat menunjukkan nilai-nilai budaya Indonesia yang sudah dikenal dunia seperti keramah-tamahan dan kesopanannya. Sayangnya, hal ini sepertinya terlupakan dan terabaikan ketika berselancar di dunia maya. Ketika mengunjungi platform media sosial seperti Instagram, Facebook atau Twitter maupun layanan video berbagi seperti  YouTube, kita dengan mudah menjumpai konten-konten sensitif seperti konten dengan tema politik, suku, agama dan ras, bila kita merujuk pada kolom komentar tentu akan kita jumpai banyak sekali komentar-komentar yang tidak mengindahkan lagi norma-norma kesopanan yang ada di masyarakat Indonesia.

Penulis tidak membahas faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi keberadaban netizen di Indonesia. Sepemahaman penulis, selama ini masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terkenal menjunjung tinggi kesopanan dan tata karma. Sehingga, dalam interaksi sosial secara langsung tatap muka, masyarakat cenderung lebih mawas diri dan berhati-hati. Bisa jadi untuk menghindari cibiran, celaan, atau sanksi sosial yang berlaku di masyarakat bila melanggar nilai-nilai tersebut. Hal berbeda terjadi di dunia media sosial, dimana setiap individu bisa membuat akun palsu atau tanpa nama yang kemudian hari bisa dihapus atau ditinggalkan bila sudah tidak digunakan lagi. Seseorang yang ingin melakukan kejahatan melalui media sosial dengan menghina, menghujat, melecehkan atau bahkan menipu akan dengan sangat mudah melancarkan aksinya tanpa ada sanksi sosial yang akan dihadapi di dunia nyata. Perilaku buruk di dunia maya akan semakin meningkatkan fenomena aksi cyber bullying. Korban cenderung memilih untuk melaporkan oknum-oknum yang melakukan cyber bullying ke pihak yang berwajib. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi orang-orang yang dengan sengaja menyerang orang lain lewat media sosial. Menurut UU No 19 Tahun 2016 sebagai Perubahan Atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), ada lima pasal yang mengatur etika bermedia sosial, mulai pasal 27 sampai 30. Baik menyangkut konten yang tidak selayaknya diunggah maupun penyebaran hoaks dan ujaran-ujaran kebencian, termasuk juga mengambil data orang lain tanpa izin

Etika dalam bermedia sosial

1.    Pergunakan bahasa yang baik

Dalam beraktivitas di media sosial, hendaknya selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar sehingga tidak menimbulkan resiko kesalahpahaman yang tinggi. Alangkah baiknya apabila sedang melakukan komunikasi pada jaringan internet menggunakan bahasa yang sopan dan layak serta menghindari penggunaan kata atau frasa multitafsir. Setiap orang memiliki preferensi bahasa yang berbeda, dan dapat memaknai konten secara berbeda, setidaknya dengan menggunakan bahasa yang jelas dan lugas Anda telah berupaya mengunggah konten yang jelas pula.

2.    Hindari Penyebaran SARA, Pornografi dan Aksi Kekerasan

Sebisa mungkin hindari menyebarkan informasi yang mengandung unsur SARA (Suku, Agama dan Ras) serta pornografi pada jejaring sosial. Biasakan untuk menyebarkan hal-hal yang berguna dan tidak menimbulkan konflik antar sesama. Hindari juga mengupload foto kekerasan seperti foto korban kekerasan, foto kecelakaan lalu lintas maupun foto kekerasan dalam bentuk lainnya. Jangan menambah kesedihan para keluarga korban dengan menyebarluaskan foto kekerasan karena mungkin saja salah satu dari keluarganya berada di dalam foto yang Anda sebarkan.

3.    Kroscek Kebenaran Berita

Anda diharapkan waspada ketika kita menerima suatu informasi dari media sosial yang berisi berita yang menjelekkan salah satu pihak di media sosial dan bertujuan menjatuhkan nama baik seseorang dengan menyebarkan berita yang hasil rekayasa. Maka hal tersebut menuntut anda agar lebih cerdas lagi saat menangkap sebuah informasi, apabila Anda ingin menyebarkan informasi tersebut, alangkah bijaknya jika Anda melakukan kroscek terlebih dahulu atas kebenaran informasi tersebut.

4.    Menghargai Hasil Karya Orang Lain

Pada saat menyebarkan informasi baik dalam bentuk foto, tulisan maupun video milik orang lain maka biasakan untuk mencantumkan sumber informasi sebagai salah satu bentuk penghargaan atas hasil karya seseorang. Jangan membiasakan diri untuk serta merta mengcopy-paste tanpa mencantumkan sumber informasi tersebut.

5.    Jangan Terlalu Mengumbar Informasi Pribadi

Ada baiknya Anda harus bersikap bijak dalam menyebarkan informasi mengenai kehidupan pribadi (privasi) Anda saat sedang menggunakan media sosial. Janganlah terlalu mengumbar informasi pribadi Anda terlebih lagi informasi mengenai nomor telepon atau alamat rumah Anda. Hal tersebut bisa saja membuat kontak lain dalam daftar Anda juga akan menjadi informasi bagi mereka yang ingin melakukan tindak kejahatan kepada diri Anda.

Kita, masyarakat secara umum, haruslah lebih sadar dengan aturan dalam menggunakan media sosial. Walaupun orang lain tidak mengetahui identitas asli kita, alangkah baiknya bila kita tetap menjaga sopan santun dan tata krama yang selama ini menjadi nilai kebanggaan bangsa Indonesia. Kita tentunya tidak menginginkan jika netizen Indonesia terkenal di mata dunia bukan karena prestasi tetapi karena kata-kata tidak sopan dan kelakuan bar-bar yang ditebarkan di dunia maya. Bijaklah dalam menggunakan media sosial demi diri kita sendiri dan masyarakat yang lebih baik. Jadi pergunakanlah media sosial sebaik dan sebijak mungkin terlebih lagi dalam hal penyebaran informasi. Biasakan untuk selalu berpikir terlebih dahulu sebelum Anda bertindak. Semoga bermanfaat. (Penulis : Dalfin Ponco Nugroho)

https://www.microsoft.com/en-us/online-safety/digital-civility?activetab=dci_reports:primaryr3

https://zahiraccounting.com/id/blog/etika-dalam-media-sosial/

oleh BBPSB | Sep 20, 2023 | Berita |

Salam Sahabat Bahasa.Kosakata “warganet” merupakan akronim dari warga internet. Warganet merupakan padanan dari kata “netizen”. Warganet juga dapat diartikan sebagai orang yang aktif menggunakan internet. Sahabat Bahasa dapat menggunakan kata “warganet” sebagai variasi penggunaan kata “netizen”.

warga +‎ Internet. Pinjaman daripada Inggeris netizen.

warga +‎ Internet. Pinjaman daripada Inggeris netizen.